Organisasi Pasar dalam Islam

Organisasi Pasar dalam Islam 
Hisbah atau Otoritas Pasar telah didefinisikan secara luas oleh Ibn Khaldun (1332-1406 M) sebagai tugas relijius yang berkaitan dengan seruan kepada manusia untuk berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan (Khaldun, 1967). Sebuah definisi yang lebih spesifik diberikan oleh Aldaraiweesh (1989) sebagai kontrol manajerial yang dilakukan oleh pemerintah melalui pegawainya yang ditugaskan untuk memantau aktivitas individu dalam bidang etika, agama, dan ekonomi, dengan tujuan memastikan bahwa keadilan dan kebajikan sebagaimana definisi Islam dan kebiasaan lazim di setiap tempat (lingkungan) dan waktu dapat dicapai.
Hisbah berevolusi secara bertahap sepanjang sejarah Islam. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) adalah orang pertama yang memantau dan mengendalikan pasar. Sebagai contohnya, beliau pernah menyaksikan tumpukan bahan makanan di pasar dan (ketika) memeriksanya, beliau menemukan terdapat barang yang basah (di bagian bawah). Beliau bertanya kepada sang Penjual tentang hal itu dan penjual menjawab bahwa barang tersebut kehujanan. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)pun meminta penjual tersebut untuk menempatkan barang yang basah tersebut di bagian atas sehingga pembeli bisa melihatnya, dan selanjutnya berkata, ‘Barangsiapa yang berbuat curang, maka ia tidak termasuk golongan kami’[1]. Dalam contoh lain, adalah perkataan seseorang, ‘Pada zaman Rasul (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) kami dulu disebut makelar, tetapi Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) datang kepada kami pada suatu hari, dan memanggil kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebelumnya, beliau mengatakan:  ‘wahai para pebisnis, berbicara sia-sia dan bersumpah terjadi dalam urusan bisnis, maka padulah ia dengan shadaqah’(Hadits).[2]
Muhtasib akan mengawasi pasar, memantau berat dan ukuran, membubarkan kerumunan, dan menghilangkan berbagai hambatan. Berikut beragam contoh yang menunjukkan keterlibatannya secara langsung dalam pasar:
  1. Standar kualitas. Seorang mushtasib yang menemukan bahwa terdapat seorang pedagang mencampur susunya dengan air, maka ia memerintahkan agar (campuran tersebut) ditumpahkan.
  2. Harga. Seorang muhtasib memerintahkan seorang penjual (yang melakukan ‘dumping’) untuk meningkatkan harga kismisnya sehingga sesuai harga standard atau meninggalkan pasar[3].
  3. Harga. Seorang Muhtasib harus memastikan bahwa penjual daging harus memasang label harga yang dapat dilihat orang  dan para penjual tidak boleh menjual dengan harga di atas (yang tercantum). 
  4. Lokasi. Seorang Muhtasib (dapat) menggusur tungku pandai besi karena telah menempati wilayah pasar milik bersama dan tak seorang pun yang (berani) menuntutnya. Pasar bagi setiap Muslim laksana masjid (untuk sholat berjamaah), barangsiapa yang memilih tempat pertama berhak secara tetap untuk menggunakannya pada hari tersebt hingga ia (memilih) untuk meninggalkannya.
  5. Eksploitasi. Seorang Muhtasib memiliki seekor keledai yang dipekerjakan dengan ketentuan sewa satu dirham selama sehari. Pada hari tertentu hambanya datang kembali dengan membawa uang satu setengah dirham. Ketika ditanya bagaimana ia mendapat tambahan setengah dirham, hamba tersebut mengatakan bahwa ada banyak permintaan (sewa keledai) sehingga ia mampu menaikkan harga. Muhtasib mengatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan, hamba tersebut terlalu banyak mengeksplotasi tenaga keledai sehingga harus memberinya waktu istirahat selama tiga hari.
  6. Pembeli Misterius. Seorang Muhtasib akan mengirim anak laki-laki dan perempuan yang tak terduga ke pasar untuk membeli barang, kemudian ia akan menimbang barang yang dibeli anak tadi untuk memastikan bahwa beratnya sesuai. Jika Muhtasib menemukan ketidaksesuaian dalam bobot dan pengukuran, maka pedagang (yang berbuat curang tersebut) akan dihukum berat. Jika dia melakukannya lagi maka ia akan diusir dari kota.
Sistem Muhtasib disempurnakan pada masa pemerintahan Muslim di Spanyol, yang berakhir pada 1495 M. Sistem ini masih digunakan di Spanyol dengan nama yang sama.
 
Karakteristik Muhtasib

  1. Pegawai Negeri Sipil. Posisi ini adalah jabatan publik, diisi oleh pegwai yang ditunjuk oleh pemimpin Muslim. Sebuah gaji yang pantas diberikan atas posisi tersebut.
  2. Durasi. Muhtasib adalah pekerjaan penuh waktu (full time). Seorang Muhtasib dilarang mengambil pekerjaan lainnya.
  3. Perselisihan dan keluhan. Tugas dari Muhtasib adalah menerima dan menyelesaikan perselisihan dan keluhan.
  4. Inspeksi. Adapun tugas lainnya adalah mencari pelanggaran dan menghapusnya.
  5. Otoritas untuk mempekerjakan. Seorang Muhtasib memiliki kewanangan mempekerjakan asisten yang bertugas untuk memastikan kepatuhan terhadap syariah berjalan dengan baik di pasar.
  6. Otoritas dalam kedisiplinan. Sesorang Muhtasib memiliki kewenangan untuk mendisiplinkan orang (pedagang)  yang melanggar aturan Islam di pasar. Namun, pelanggar tidak harus ditindak (secara langsung) hingga suatu masalah (terkait pelanggaran) diklarifikasi kepada mereka.
  7. Iman. Seorang Muhtasib harus beragama Islam karena tugas utamanya adalah memastikan kepatuhan pasar terhadap ajaran Islam.
  8. Akuntabilitas. Seorang Muhtasib bertanggung jawab kepada orang yang mengangkatnya pada posisi itu.
  9. Gender. Posisi Muhtasib boleh ditempati oleh seorang wanita (apabila) berada di pasar (khusus) wanita. Khalifah Islam kedua (Umar bin Al-Khattab) menunjuk Ash-Shifa, putri dari Abdullah sebagai Muhtasib di salah satu pasar di kota Nabi (Madinah).
  10. Kerahasiaan. Seorang Muhtasib lebih baik menjaga kerahasiaan dari pekerjaannya selama hal tersebut memungkinkan. Namun, jika terdapat seorang pedagang melanjutkan pelanggarannya (setelah teguran), maka dia akan meminta masyarakat untuk menahan diri (terlebih dahulu) atas kesalahan yang dilakukan pedagang tersebut (hingga mendapat hukuman).
  11. Karakter pribadi. Seorang Muhtasib harus bersikap baik,  murah senyum, dan sopan dalam memfasilitasi komunikasi antar pedagang. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) bersabda, ‘Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Agung, adalah Maha Baik dan mencintai kebaikan. Dia senang dengan perbuatan tersebut itu dan akan membantumu selama engkau tidak salah meletakkan (perbuatan baik tersebut) ‘(Hadits)
Tugas Umum Muhtasib

  1. Keterjangkauan Pasar. Muhtasib bertugas memantau jalan utama dan berbagai jalan menuju pasar serta memastikan bahwa kondisinya tidak macet dan atap kantor mereka cukup tinggi untuk memungkinkan akses mudah ke toko-toko. Pemilik toko tidak diperbolehkan untuk memamerkan barang-barang mereka di jalur menuju pasar karena tindakan semacam itu dipandang sebagai pelanggaran bagi para pejalan kaki.
  2. Divisi pasar. Muhtasib membagi pasar sesuai dengan jenis produk atau layanan yang disediakan. Mereka yang berprofesi menggunakan api, seperti pandai besi, koki dan tukang roti, harus memiliki toko terletak jauh dari toko pakaian dan aroma. Muhtasib menunjuk atas masing-masing divisi seorang supervisor yang memahami proses perdagangan di dalamnya dan kemungkinan pelanggaran yang akan mereka lakukan. Pengawas lokal (supervisor tersebut) juga akan melaporkan kepada Muhtasib tentang harga dan ketersediaan barang di masing-masing divisi.
  3. Pemantauan timbangan, berat, dan ukuran. Muhtasib memeliki kewenangan untuk memeriksa hal ini tanpa sepengetahuan penjual, dalam beragam kasus, dan berat atau ukurannya setidaknya sebanyak sebagaimana mestinya. Hal bermanfaat untuk memberikan lebih banyak pembeli tetapi tidak merugikan, ‘Sempurnakanlah takaran dan janganlah engkau merugikan orang lain. Serta timbanglah dengan timbangan yang benar. Dan Janganlah engkau merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi‘(Qs. Asy- Syu’ara [26]: 181-183). Seorang sahabat Nabi juga menceritakan kisah berikut, ‘Saya dan Makhrafah al-Abdi mengimpor beberapa pakaian dari (pasar) Hajar, dan membawanya ke Makkah.  Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) datang kepada kami dengan berjalan, dan setelah ia tawar-menawar dengan kami untuk beberapa celana panjang, kami (akhirnya) menjual kepadanya. Ada seorang pria yang sedang menimbang untuk pembayaran. Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) berkata kepadanya: Timbang dan ‘lebihkan’ beratnya’ (Hadits).
  4. Pasar uang. Muhtasib bertugas untuk memeriksa pasar uang dan memastikan bahwa koin diproduksi dengan langkah-langkah yang tepat serta sesuai dengan spesifikasinya. Selain itu, dia juga harus memastikan bahwa tercapai keseimbangan antara jumlah uang yang tersedia di pasar dan situasi ekonomi di negara itu, sehingga stabilitas harga dapat terjamin.
  5. Penawaran dan transaksi. Muhtasib berwenang untuk menggagalkan penawaran dan transaksi yang melanggar hukum serta mencegah penjualan produk yang telah dinyatakan “dilarang” dalam Islam. Contoh transaksi yang termasuk melanggar hukum, seperti yang disabdakan oleh Nabi (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam): ‘Harga yang dibayarkan untuk anjing, harga yang diberikan ke dukun, dan uang sewa yang dibayarkan kepada seorang pelacur (semuanya) tidak halal ’(hadits).[4]
  6. Pencegahan dan monopoli. Muhtasib bertugas mencegah monopoli dan memaksa para pedagang untuk menjual dengan nilai yang sama jika diperlukan (darurat).
  7. Broker dan perantara. Muhtasib adalah pengawas operasional broker dan perantara. Bertugas untuk mencegah mereka dari penjualan hingga mereka tahu siapa penjual (sebenarnya) dan mendokumentasikan informasi dalam setiap catatan mereka dalam rangka memastikan bahwa apa yang sedang dijual tidak dicuri, dalam sengketa, diambil secara paksa atau diperoleh melalui cara ilegal yang lain.
  8. Produksi daging. Muhtasib bertugas mengawasi penyembelihan hewan, memastikan bahwa hewan tersebut bebas dari penyakit, mencegah penjual daging untuk meniup, antara kulit dan tubuh hewan ketika sedang dikuliti dengan tujuan untuk menghindari bau tak sedap dari perubahan rasa pada daging. Dia juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tempat di mana daging disiapkan dan dijual  terjaga kebersihannya, serta memastikan bahwa pengawetan daging telah sesuai dengan prosedur yang memadai.
  9. Pasar perempuan. Muhtasib berwenang menunjuk laki-laki atau perempuan yang dapat dipercaya untuk mengawasi pasar perempuan dan mencegah laki-laki untuk pergi ke pasar perempuan dan duduk-duduk di jalan menuju tempat tersebut.

[2] Dalam Musnad Imam Ahmad, no. 15549, Bab Musnad Penduduk Madinah, Hadits Qais bin Abu Garzah dituliskan ‘Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Jamal bin Abu Rasyid dan ‘Ashim dari Abu Wa’il dari Qais bin Abu Gharzah berkata ‘kami menamakan diri kami dengan nama samasirah (makelar) pada masa Rasulullah  (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallamlalu Rasulullah (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)mendatangi kami di Baqi’ dan bersabda sesungguhnya dalam jual beli terdapat sumpah dan kebohongan maka campurkanlah dengan sedekah’Adapun pada nomor selanjutnya, no.15550, Rasulullah (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)  bersabda: ‘Wahai para pedagang sesungguhnya dalam jual beli terdapat hal yang sia-sia dan sumpah, maka campurkanlah dengan sedekah’.
 

Etika di dalam Pasar menurut Islam

Etika di dalam Pasar menurut Islam
Islam memberikan pedoman yang jelas tentang perilaku penjual dan pembeli ketika berada di pasar. Pedoman tersebut tercermin dan dinyatakan dalam perilaku Nabi Muhammad ketika beliau memasuki pasar, mengorganisr, dan mengawasi perdagangan di pasar pertama Islam di Madinah, di mana negara Islam berdiri. Berikut ini adalah deskripsi dari beberapa pedoman tersebut.
  1. Ketika memasuki pasar, seseorang harus memulai aktivitasnya dengan membaca doa untuk memuji Allah, mengakui keesaan-Nya, dan bersaksi bahwa semua kebaikan terjadi atas kehendak-Nya.[1]
  2. Ketika berada di dalam pasar seseorang tidak boleh berteriak atau menaikkan suaranya. Nabi Muhammad menjelaskan dalam Quran denganungkapan ’Engkau termasuk orang yag tidak sopan, kasar, atau pembuat kegaduhan di pasar’ (Hadis). Pasar harus tetap bersih. Kebersihan merupakan salah satu yang paling diutamakan dalam ajaran Islam.[2]
  3. Penghuni di pasar sangat dianjurkan untuk menyapa satu sama lain bahkan jika mereka termasuk orang asing. Salam dalam Islam adalah  ucapan ‘Assalamu’alaykum (Keselamatan dan Kesejahteraan untukmu)’. Salam dipandang sebagai sarana untuk menggapai surga, sebagaimana sabda Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam): Kalian tidak akan masuk surge hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah aku beritahukan sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam diantara kalian”.[3] 
  4. Ketika orang bersenjata memasuki pasar ia harus mengamankan senjatanya agar tidak menyakiti orang lain. sebagaimana sabda Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam): Apabila salah seorang kamu lewat di suatu majlis atau di sebuah pasar, sedang ia membawa anak panah, hendaklah dia memegang mata panahnya itu, kemudian hendaklah dia memegang mata panahnya itu, kemudian hendaklah dia memegang mata panahnya itu (agar tidak melukai seorang Muslim)”[4]
  5. Seseorang harus menahan diri dari duduk-dukduk di pinggir jalan. Perempuan juga harus menjauhkan diri dari tindakan yang bisa menarik perhatian laki-laki seperti memakai perhiasan dan menggunakan make upyang berlebihan. ” Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiya’l-Lahu’anhu: ia berkata: Dari Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam, beliau bersabda: Hindarilah duduk di jalan-jalan! Para sahabat berkata: Wahai Rasulullah! Kami tidak dapat menghindar untuk duduk berbincang-bincang di sana (di jalan). Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) bersabda:Kalau memang kalian harus duduk juga, maka berikanlah pada jalan itu haknya. Para sahabat bertanya: Apakah haknya? Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam )bersabda: Menjaga pandangan (dari melihat wanita), menyingkirkan hal-hal yang membahayakan, menjawab salam, serta menyuruh kepada yang  makruf dan mencegah perbuatan munkar.[5]
  6. Bahkan jika seorang Muslim sibuk menjalankan perdagangan ia tidak boleh mengisolasi diri dari apa yang terjadi di dalam komunitasnya. Dia harus menjadi peserta aktif dalam urusan masyarakat.
  7. Seorang pedagang harus memahami seni dan norma dalam perdagangan serta tentang yang diizinkan dan dilarang dalam agama (Halal dan Haram). Hal ini dalam rangka untuk melindunginya dari jatuhnya korban akibat kesalahpahaman dalam perdagangan. Umar bin Al-Khattab (Radhiya’l-Lahu’anhu), khalifah Islam kedua, mengatakan ‘Tidak satupun pedagang di pasar kami melainkan dia memahami tentang agama‘.[6]
  8. Kebebasan pasar harus dilindungi dari segala jenis pelanggaran. Terdapat banyak ajaran tentang hal tersebut. Setelah Nabi (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) memilih lokasi untuk pasar dia berkata ‘ini adalah pasar Anda, ukurannya tidak boleh dibuat lebih kecil dan tidak ada pajak harus dikenakan atasnya‘. Ketika seorang sahabat mendirikan tenda di pasar baru (tersebut) untuk menjual kurma, Nabi (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) memerintahkan agar tendanya dibakar, karena tindakan itu dipandang sebagai bentuk pelanggaran di pasar, Suatu properti publik di mana semua orang memiliki hak yang sama dan tidak ada yang lebih berhak untuk mengklaimnya. Khalifah kedua melakukan hal yang sama atas pasar. Selain yang telah tersebut, seseorang dilarang untuk mendahului produk sebelum mereka tiba di pasar, karena semua harga akan ditetapkan antara semua pembeli dan penjual ketika di pasar. Nabi (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) dengan jelas meminta pedagang untuk tidak bergegas mendatangi kafilah dagang yang masuk, beliau mengatakan: ‘Jangan menemui pedagang di jalan dan melakukan transaksi bisnis dengan dia, dan siapa bertemu dia dan membeli dari dia (bahwa ketika pemilik (barang) datang ke pasar (dan menemukan bahwa ia telah membayar harga kurang) dia memiliki pilihan (untuk menyatakan bahwa transaksi tersebut tidak sah dan batal)’(Hadits). Larangan ini diterapkan untuk memungkinkan pasar agar melakukan fungsinya dalam menetapkan harga yang tepat.
  9. Penawaran palsu adalah ketika satu orang atau lebih akan mengajukan penawaran lebih tinggi tanpa niat untuk membeli, tetapi untuk menipu pembeli agar membayar harga yang lebih tinggi dari suatu produk. Jenis perilaku yang dikenal dalam Islam sebagai Najash dan Nabi telah menyatakan bahwa hal ini dilarang dalam agama.[7]
10.Perdagangan barang dari sumber yang dipesengketakan dilarang dalam Islam. Misalnya, barang curian dan barang yang diambil secara paksa tidak diizinkan untuk masuk ke dalam pasar Islam.

[1] Rasulullah (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) bersabda: ‘Barangsiapa masuk pasar, lalu membaca: “Laa ilaaha illalLahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku walahulhamdu, yuhyii wa yumiitu wa huwa hayyun laa yamuutu, biyadihil khaiir, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadiir.” Allah mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta keburukan dan meninggikan untuknya satu juta derajat.’ (HR. At-Tirmidzi 5/291, Al-Hakim 1/538 dan Ibnu Majah 2235.)
[2] Kesucian sebagian dari Iman (HR. Muslim no.223. Hadits ke-23 dalam al-Arba’un an-Nawawiyah). Pada kesempatan lain beliau melihat seseorang dengan pakaian kotor, lalu beliau bersabda: ‘Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu untuk membersihkan pakaiannya?’ (HR. Abu Dawud, hadits Shahih menurut al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no.489)
[3] HR. Muslim dari Abu Hurairah (Syarh Muslim li an-Nawawi II/35)
[4] HR. Muslim dari Abu Musa Rhadiya’l-Lahu’anhu. Shahih Muslim no.4739 Bab 18 tentang Kebajikan, Silaturrahim, Adab, dan Sopan Santun
[5] HR. Muslim. Shahih Muslim no. 3960 Bab 20 tentang Pakaian dan Perhiasan.
[6] Arifin (2009) dalam “Sifat Perniagaan Nabi” mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab radhiya’l-Lahu’anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum, yakni: “Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak demikaian,  niscaya (orang tersebut) akan memakan riba.” (Dari Ibnu Abdil Bar Al-Malik. Riwayat ini dihasankan oleh Al-Albani). Imam Malik (Al-Maliyah wal Masharafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359 dalam Wasitho) mengatakan bahwa: Khalifah Umar bin Khattab radhiya’l-Lahu’anhu memerintahkan para pemimpin (daerah) untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji satu-persatu, saat beliau menemukan di antara mereka yang tidak mengerti hukum halal-haram dalam jual beli, beliau melarang pedagang tersebut masuk pasar dan menyuruhnya mempelajari ajaran agama tentang bisnis (fiqh muamalah). Bila pedagang tersebut telah paham, maka dia diperbolehkan masuk pasar”
[7] Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang menekan, yang melapangkan, dan yang memeberi rezki. Saya ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun diantara kalian yang menuntut saya karena suatu kezhaliman baik mengenai masalah darah maupun harta’ (HR. Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimim, dan Abu Ya’la, dikutip dari Al-Halal wal Haram Fil Islam karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dikomentari Shahih menurut Al-Albani dalam Ghayatul Maaram)
 

Implementasi Kecerdasan dalam Bisnis

Implementasi Kecerdasan dalam Bisnis

Untitled-1Kesuksesan Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi wa Sallam dalam berbisnis, tidak bisa dipisahkan dari keluhuran kepribadiannya. Salah satu dari kepribadian Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi wa Sallam yang menarik untuk dikaji adalah faţānah (cerdas).
Tasmara (2001:212) mengatakan bahwa makna dasar faţānah lebih merujuk pada dimensi mental yang fundamental dan menyeluruh, sehingga faţānah dapat diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spirtitual. Seorang yang memiliki sikap faţānah, tidak hanya menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukan kemahiran seorang profesional yang didasarkan sikap moral atau akhlak yang luhur. Seorang yang faţānah tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam berpikir dan bertindak.
Tasmara (2001: 220) mengatakan bahwa karakteristik yang terkandung dalam jiwa faţānah adalah :
  1. The man wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan (Qs. Al-Baqarah [2]: 26).
  2. High integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya. Mereka tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi mampu melihat apa di balik yang tampak tersebut melalui proses perenungan (Qs.Ali Imran [3]: 190).
  3. Willingness to learn. Mereka memiliki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu mengambil pelajaran dai setiap peristiwa yang dihadapinya (Qs. Yūsuf [12] : 111).
  4. Proactive stance. Mereka bersikap proaktif, ingin memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, ia telah menjadikannya sebagai sosok yang mampu mengambil keputusan yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang akan merugikan (Qs. Al-Mā’idah[5]: 100).
  5. Faith in god. Mereka sangat mencintai Tuhannya dan karenanya selalu mendapat petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah di-sibghah Allah Ta’alā sehingga tumbuh rasa optimis untuk menjadikan Allah sebagai tempat dirinya bersandar dan bertawakal (Qs. Ali Imran [3]: 7, 30-31, Qs. Al-Baqarah[2]: 138).
  6. Creditable and reputable. Mereka selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai insan yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkarijanji atau mengkhianati amānah yang dipikulkan kepada dirinya (Qs. Ar- Ra’d [13]: 19-22).
  7. Being the best. Selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan (the excellent examplary) dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Qs. Ali Imran [3]: 110).
  8. Empathy and compassion. Mereka menaruh cinta kepada orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri (Qs. At-Taubah [9]: 128).
  9. Emotional maturity. Mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terperangkap dalam keputusan emosional ( Qs. Luqman [31]: 17)
  10. Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam Al Qur’an sebagai nafsul muthmainah (Qs. Al-Fajr [89]: 27-30, Qs. Asy-Syu’arā’ [26]: 89).
  11. Sense of mission. Mereka memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupan (Qs. At-Taubah [9]: 33, Qs. Al-Fath[48]: 28, Qs.Aş- Şaff [61] :9)
  12. Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena mereka sadar bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya dengan memiliki sense of competition (QS. Al- Baqarah [2]: 148).
Faţānah merupakan modal yang cukup penting dalam berbisnis. Berdasarkan penelitian Agor (1986) terhadap tiga ribu ekskutif dalam Tasmara (2001:213), dapat diketahui bahwa ekskutif yang berhasil meraih prestasi puncak adalah mereka yang paling cerdas dalam pendayagunaan intuisi pada saat pengambilan keputusan.
Kecerdasan dan kepekaan (intuisi) terhadap sesuatu akan didapat oleh orang-orang yang memiliki ilmu/pengetahuan. Adapun ilmu/pengetahuan hanya didapat melalui proses belajar, melakukan penelitian, juga upaya pengembangan budaya ilmiah. Allah Ta’alā telah berfirman dalam Qs. Muhammad [47]: 19 :
 … فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك
Falam an-nahu lā ilāha ila’l-Lahu wa’s-taghfir li-żanbika
“Maka ketahuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”
Ayat tersebut diawali dengan kata “ketahuilah” lalu dilajutkan dengan “mohonlah ampun”. Kata “ketahuilah” adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan “mohonlah ampun” adalah sebuah aktiftas. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu harus didahulukan sebelum mengerjakan suatu aktifitas. Setiap muslim yang hendak beramal harus memiliki pengetahuan terlebih dahulu tentang aktifitasnya, agar pekerjaannya tersebut dapat bermanfaat (Tuasikal, 2009).
Arifin (2009) mengatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab radiya’l-Lahu ‘anhu juga telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum, yakni:
ايتجر في سوقناإلا من فقه و الا اكل الر با
a-yattajiru fī sūqinā illā man faquha wa illā akala’r-ribā
“Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak demikaian,  niscaya (orang tersebut) akan memakan riba.”  [Dari Ibnu Abdil Bar Al-Malik. Riwayat ini dihasankan oleh Al-Albany].
Imam Al-Qurthubi Al-Maliki dalam Ahkāmul Qur’an (5/29) menjelaskan:
“Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mengelola harta benda. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikhawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada non-muslim  yang tinggal di negeri Islam.”
Imam Malik (Al-Maliyah wal Masharafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359 dalam Wasitho) mengatakan bahwa:
“Khalifah Umar bin Khattab radiya’l-Lahu ‘anhu memerintahkan para pemimpin (daerah) untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji satu-persatu, saat beliau menemukan di antara mereka yang tidak mengerti hukum halal-haram dalam jual beli, beliau melarang pedagang tersebut masuk pasar dan menyuruhnya mempelajari kaidah syar’i dalam bisnis (fiqih muamalah). Bila pedagang tersebut telah paham, maka dia diperbolehkan masuk pasar”
Ilmu (pengetahuan) merupakan bekal utama untuk beraktifitas. Keluasan ilmu (kecerdasan) seseorang akan membawa keberhasilan dan manfaat atas aktifitasnya tersebut. Oleh karena itu, sangatlah penting jika karakter-karakter yang menunjukkan telah terbentuknya kecerdasan (faţānah) dalam diri seseorang dapat dipahami dan diterapkan lebih teknis dalam kehidupan sehari-hari.
Implementasi faţānah dalam dunia bisnis akan membentuk kepribadian yang mulia dan beretos kerja tinggi. Hal tersebut diwujudkan dengan sikap sebagai berikut (Tasmara, 2001:235) :
  1. Melaksanakan tugas-tugasnya dengan standar kualitas tinggi sesuai dengan visi dan misi organisasi.
  2. Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan mematuhi peraturan organisasi merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja yang profesional.
  3. Bekerja secara inovatif dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan untuk mencapai kualitas dirinya.
  4. Berusaha untuk menempatkan diri sebagai bagian dari khairu ummah (umat terbaik), bekerja secara kreatif dan inovatif untuk menemukan dan mengembangkan berbagai bentuk produk-produk dan pelayanan unggul (service excellent).
  5. Terbuka terhadap gagasan baru dan memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan secara cepat, tepat, dan akurat.
  6. Melaksanakan tugas-tugasnya dengan motivasi tinggi, bekerja keras, cerdas, dan tangkas untuk mencapai prestasi optimal (need achievements).
  7. Menyadari sepenuhnya bahwa untuk misi organisasi dibutuhkan sikap yang proaktif dan kreatif di dalam mencari peluang usaha.
  8. Meningkatkan kualitas akhlak, kecerdasannya, dan kemampuannya secara menyeluruh sebagai upaya untuk menempatkan diri sebagai pekerja yang profesional.
  9. Bekerja berdasarkan prinsip-prinsip etika, moral, kejujuran, dan kesungguhan.
 

Nilai-Nilai Islam dalam Bisnis

dari-dan-cara-yg-baik-untuk-hasil-terbaikIslam merupakan sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, dan petunjuknya mencakup seluruh sektor kehidupan. Agama ini telah memberikan prinsip-prinsip yang rinci untuk membimbing dan mengontrol berbagai aspek ekonomi dalam masyarakat. Setiap Muslim menyadari bahwa kekayaan, pendapatan, dan materi adalah milik Tuhan, sedangkan mereka hanyalah wakil-Nya (di muka bumi). Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, yang mana setiap orang memiliki tanggung jawab dan kejujuran. (Adapun contohnya) termasuk yang berikut ini:
Larangan terhadap Penyuapan/Rashwa[1]
Larangan terhadap segala bentuk penyuapan termasuk dalam ajaran Islam. Penyuapan merupakan salah satu bentuk dari korupsi, dan hal tersebut sangat dikutuk (dalam Islam). Beban tersebut dikenakan atas kedua belah pihak, baik yang meminta suap atau menerima suap, dan yang menawarkannya. Seluruhnya, pemberi, penerima, dan orang yang memfasilitasi telah ditegur dengan sangat keras ketika menjalankan praktik ini. Rasulullah (Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam)bersabda: “Laknat Allah atas penyuap dan menerima suap”[2]
Larangan terhadap Kecurangan dan Tipu Daya.
Islam menekankan tentang pentingnya kejujuran dan mengingatkan kepada para penjual untuk menghindari berkata berlebihan atau berdusta atas produk dan jasa mereka. Dilarang (oleh Islam) untuk mendapatkan harta atau kekayaan dengan penipuan, kecurangan, pencurian, atau kebohongan lainnya. Para penjual  yang terlibat dalam tindak kecurangan, (sesungguhnya) sedang melakukan sebuah perbuatan dosa. Surat ke 83 dalam Al-Qur’an (Para Pedagang yang Curang/ Al-Muthaffifīn) berisi ayat-ayat berikut:
  1. Celakalah bagi orang-orang yang curang.
  2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan (dipenuhi sesuai haknya).
  3. Akan tetapi apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka menguranginya.
Dalam ajaran Islam yang lain dijelaskan, sebagai berikut:
  1. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs. Al-Baqarah [2]: 275)
  2. (Syu’ai ‘Alaihi-s-Salam  berkata kepada kaumnya) : “Wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah engkau merugikan manusia atas hak-haknya” (Qs.Hūd [11]: 85)
  3. “Wahai orang-orang yang beriman janganlah engkau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak jujur)” (Qs. An-Nisa’ [4]:29)
  4.  “Pada hari pembalasan, pedagang Muslim yang jujur akan ditempatkan bersama para syuhada (di surga-Nya)” (Nabi Muhammad Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam)[3]
  5. “Jual barang yang baik dan pisahkan yang buruk. Barangsiapa yang berbuat curang, maka bukan termasuk golongan kami (Nabi Muhammad Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam)[4].
  6. “Bersumpah untuk memproduksi (barang) siap jual, namun menodainya maka dia tidak akan mendapat rahmat (Allah)” (Nabi Muhammad Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam).
Yusuf Ali (1991, halaman 1616 catatan kaki no.6011, 6012), dalam Quddus, et al. (2009, halaman 328), menyatatakan bahwa:
Penipuan  harus diambil dalam pengertian yang lebih luas … hal ini merupakan semangat ketidakadilan yang dikutuk -memberi terlalu sedikit dan meminta banyak.  Ini mungkin saja terjadi dalam perdagangan, di mana  seseorang menghendaki  sesuatu (yang dibelinya) melebihi takaran daripada secara sukarela menolaknya. … sanksi hukum dan social terhadap penipuan tergantung pada (tingkat) keberhasilan (tindakannya), (serta) pada kemungkinan untuk diketahui. (Adapun) Sanksi moral dan agama bentuknya berbeda …entah, tidakan (penipuan) tersebut diketahui atau tidak oleh orang lain, engkau (penipu) tetap bersalah dihadapan Tuhan”
Larangan terhadap Diskriminasi
Islam menganganggap bahwa segala bentuk diskriminasi adalah ketidakadilan dan bertentangan dengan segala aspek kehidupan. Nabi Muhammad Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam bersabda : “Orang Arab tidaklah lebih unggul dibandingkan orang  non- Arab, dan orang non-Arab tidaklah lebih unggul dibandingkan orang Arab; orang kulit hitam tidaklah lebih unggul dibandingkan orang kulit putih, dan orang kulit putih tidaklah lebih unggul  dibandingkan orang kulit hitam. Kriteria keutamaan di sisi Allah adalah kebenaran dan hidup jujur (ketaqwaan)”.
Keutamaan Perbuatan Sosial dan Tanggung Jawab
Anjuran Islam tentang pentingnya memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat telah memberikan nafas baru dalam konsep tanggung jawab sosial perusahaan, dan sebagaian besar dari hal tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang dilakukan oleh dunia bisnis masa kini. Sebuah organisasi yang memiliki tanggung jawab sosial dalam Islam, menekankan tanggung jawabnya pada 3 bidang, yakni: kepada stakeholders, kelestarian lingkungan, dan masyarakat. Sebagai contoh dari keterlibatan stakeholders, adalah penekanan Islam tentang pentingnya melakukan perjanjian kontrak dalam bentuk tulisan dengan para pekerja, rekan dan mitra bisnis, pemasok atau pelanggan, agar dapat melindungi segala hak dari mereka yang terlibat dan terkena efek dari bisnis. Allah Ta’ala berfirman: “dan penuhilah (setiap) janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban” (Qs. Al-Isrā’ [17]: 34). Adapun Nabi Muhammad Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam bersabda: “Berikanlah upah atas pekerjamu sebelum kering keringatnya”. Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an secara khusus dipersembahkan untuk menjelaskan  pentingnya pencatatan (dokumentasi) sebagai sarana untuk mengurangi konflik dan menjamin kepatuhan[5].
Demikian halnya, terdapat petunjuk khusus untuk mengarahkan organisasi dalam pemenuhan atas perjanjiannya dan bertanggung jawab atas kelestarian alam. Sebuah bisnis (hendaknya) menarik Pasar Muslim tidak hanya sebagai mesin keuntungan; Ini  (Pasar Muslim) adalah sebuah institusi dari umat Islam dan (masuk ke dalamnya) harus memenuhi aturan dan pedoman yang berlaku. Aturan ini diantranya berhubungan dengan perlakuan terhadap hewan, seperti larangan untuk menggunakan hewan sebagai bahan percobaan farmasi, serta larangan atas segala tindakan yang menyebabkan pencemaran lingkungan (Beekun, 1996). Al-Qur’an menjelaskan bahwa: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”  (Qs. Ar-Rūm [30]: 41)
Pada dasarnya, hukuman dalam Islam atas penyebab kerusakan dapat berupa kematian, Allah Ta’ala berfirman:  “Barangsiap membunuh seseorang bukan karena orang yang dibunuh tersebut bersalah (karena telah membunuh orang lain), atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka dia (sang pembunuh tersebut) seakan-akan telah membunuh seluruh manusia” (Qs. Al-Māidah [5]: 32)
Larangan terhadap Suku Bunga
Islam melarang penggunaan segala bentuk suku bunga sebagai dasar dalam transaksi, apakah member atau menerima, dan apakah transaksi tersebut dilakukan dengan sesama Muslim atau dengan non-Muslim. Nabi Muhammad (Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam) bersabda  bahwa Allah melaknat mereka yang membayar bunga, mereka yang menerimanya, mereka yang mencatat perjanjian dagang berdasar system bunga, dan mereka yang menjadi saksi atas transaksi tersebut[6], “Allah telah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (Qs. Al-Baqarah [2]: 276)[7]
Larangan terhadap Pendapatan Tertentu yang Tidak Pasti[8]
Islam melarang (umatnya) mendapatkan penghasilan/upah/gaji dari berjudi, lotre dan produk-produknya, serta perdagangan alcohol (minuman keras), baik sebagai  penjual maupun distributor[9].
Larangan terhadap Penimbunan
Penimbunan terhadap uang maupun barang, keduanya dilarang dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Qs. At-Taubah [9]: 34)[10]. (Hal ini berarti bahwa) manusia hendaknya mengambil (kekayaan yang telah dianugerahkan Allah) sesuai dengan kebutuhannya, tidak lebih. Di samping itu, Islam telah mendorong untuk mengeluarkan kekayaan (spend) secara pantas. Kata “spend[11] atau mengeluarkan kekayaan diulang oleh Al-Qur’an sebanyak 53 kali, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang “mengeluarkan kekayaan (spend)” termasuk ke dalam bagian orang-orang yang bertaqwa[12],  “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. ” (Qs. Ali-Imran [3]: 134)[13]
Larangan terhadap Gaya Hidup Mewah dan Pemborosan
Setiap Muslim hendaknya bertanggung jawab dalam mengeluarkan kekayaannya.  Gaya hidup mewah dan pemborosan dilarang keras (oleh Islam). Allah Ta’ala berfirman: “Dan (yang termasuk hamba Allah adalah) mereka yang apabila mengeluarkan (kekayaannya), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, (yakni) diantara keduanya secara wajar ” (Qs. Al-Furqān [25]:67).  dan pada surat yang lain, “Wahai anak adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan, dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs. A’rāf [7]: 31)
Membayar Zakat (Kedermawanan)
Setiap muslim yang memiliki kekayaan, berlebihan dari yang mereka butuhkan, baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk membayar zakat yang telah ditetapkan banyaknya (2,5 %) di luar kebutuhannya. Kedermawanan adalah sebuah metode memperkecil jarak antara si Kaya dan si Miskin, dan memberikan jaminan atas kebutuhan-kebutuhan orang miskin dalam sebuah masyarakat dimana mereka berada.
Membayar Sedekah (Sosial)
Seluruh Muslim didorong untuk senantiasa memberikan sedekah (dana social). Nabi Muhammad (Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam) bersabda bahwa: “Tidak aka nada harta (kekayaan) yang berkurang karena disedekahkan”
Kebersihan
Nabi Muhammad (Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam) bersabda bahwa “kebersihan mengajak ke arah keimanan, dan keimanan akan menjadi pembimbing menuju surga”.[14] Kebersihan tidak hanya di terapkan pada daerah-daerah bisnis yang dapat dilihat oleh pelanggan, hal tersebut (hendaknya) meliputi bagian operasional, perengkapan, serta area gudang.
________________________________________________________________
Diterjemahkan dengan penambahan pada catatan kaki oleh Adistiar Prayoga. Sumber: The Principles of Islamic MarketingPart 1 Chapter 2 karya Baker Ahmad Alserhan, 2011

[1] Dalam bahasa Arab disebut Risywah (الرشوة)
[2] Ditambahkan kata “fil hukmi (dalam hukum) menurut riwayat Ahmad, Turmidzi, dan Hakim dari Abu Hurairah (hadits Shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jāmi’u’sh-Shaghīr II/7254  ” As-Suyuthi jugamenuliskan bahwa, dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Rasulullah Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam  bersabda: “Laknat Allah atas penyuap, penerima suap, dan orang yang terlibat  diantara keduanya (fasilitator)”  (hadits dari Tsauban diriwayatkan oleh Ahmad, hadits Shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jāmi’u’sh-Shaghīr, II/7255 )
[3] Dalam riwayat Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam  bersabda: “Para pedagang yang amanah dan jujur, (di surga bersama) para nabi, orang-orang jujur, dan mereka yang syahid di jalan Allah” (Sunan at-Tirmidzi no.1209)
[4] Teks asalnya adalah sebagai berikut”Dari Abu Hurairah ,’Bahwasanya Rasulullah Shalla-l-Lahu’alaihi wa Sallam  pernah melalui suatu segumpalan makanan yang akan di jual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam segumpalan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata ”Apakah ini?” orang yang memilikinya menjawab: ”Basah karena hujan, ya Rasulullah , Beliau bersabda,”Mengapa tidak engkau taruh di bagian atas supaya dapat di lihat orang? Barang siapa yang berbuat carang, maka ia bukan umatku” (HR.Muslim)
[5] Ayat “terpanjang” yang dimaksud adalah Qs. Al-Baqarah [2]:282
[6] Lihat haidits “Laknat Allah atas Riba” diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dari Ibnu Mas’ud, hadits Shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jāmi’u’sh-Shaghīr, II/7256
[7] Dalam naskah asli tertulis Quran 2:277, seharusnya Quran 2:276
[8] Di naskah asli tertuliscertain earningsdapat diterjemahkan menjadi “pendapatan tertentu” atau mungkin yang dimaksud penulis adalahuncertain earningssesuai dengan pembahasannya
[9] Qs. Al-Baqarah [2]: 219
[10]Di naskah asli tertulis bahwa ayat tersebut tercantum dalam Quran 43:33, mungkin yang dimaksud penulis adalah Quran 9:34 (sebagaimana tertulis dalam terjemahan). Adapun pada Quran. 43:33, tertulis tentang laknat Allah atas orang kafir dengan bentuk perumpaan bahwa kehidupan dunia tidaklah kekal, sebagaimana kehidupan akhirat (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsier (Surah Az-Zukhruf [43]: 26-35). Teks terjemahan Quran. 43:33 adalah sebagai berikut: Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng- loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya.”
[11] Terjemahan dari kata dalam Bahasa Arab “nafaqa-yunfiqu” yang berarti membelanjakan
[12] Dalam ayat sebelumnya, Qs.Ali Imran [3]:133 dijelaskan bahwan orang yang bertaqwa akan mendapatkan surga seluas langit dan bumi.
[13]Di naskah asli tertulis bahwa ayat tersebut tercantum dalam Quran 4:38, mungkin yang dimaksud penulis adalah Quran 3:134 (sebagaimana tertulis dalam terjemahan). Adapun Quran. 4:38, berisi tentang larangan Allah kepada orang-orang yang mengeluarkan kekayaannya di jalan Allah tetapi ingin dilihat dan dipuji orang lain (riya’). Mereka akan disiksa oleh Allah dengan azab yang menghinakan, sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya (Quran 4:37). Teks terjemahan Quran. 4:38 adalah sebagai berikut: Dan (juga) orang-orang yang mengeluarkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia,…
[14] HR. Thabarani, dikutip DR. Yusuf al-Qaradhawi dalam al-Halal wal Haram fii’l Islam, Bab Islam Agama Bersih dan Indah
 

MLM Menurut Syariah Islam

MLM Menurut Syariah Islam

MLM belakangan ini semakin banyak muncul, perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah Islam.
Perlu dicatat, bahwa perusahaan money game yang berkedok MLM bukanlah termasuk MLM.

Pakar marketing Don Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga, multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran).

Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM). Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.

Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.

Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh, "Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha" (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya).

Islam memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.

Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas.


Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur:

  1. Maysir (judi)
  2. Aniaya (zhulm)
  3. Gharar (penipuan)
  4. Haram
  5. Riba (bunga)
  6. Iktinaz atau Ihtikar
  7. Bathil

Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah di atas.

MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah.

Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)


Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah/Simsar.
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159).

Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini
(Fikih Sunnah, III, hlm 159).

Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.

Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan: “Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesungguhan”.

Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah: "Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun" (hadist).

Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja.

Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni: adil, terbuka dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Upline) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (downline), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan.

Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah).
Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan.
 
 
Support : Creating Website | CAH MANAGEMENT | TITISAN SAMUDERA
Copyright © 2011. MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by SAMUDERA
Proudly powered by Blogger