Implementasi Kecerdasan dalam Bisnis
Kesuksesan Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi wa Sallam dalam berbisnis, tidak bisa dipisahkan dari keluhuran kepribadiannya. Salah satu dari kepribadian Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi wa Sallam yang menarik untuk dikaji adalah faţānah (cerdas).
Tasmara (2001:212) mengatakan bahwa makna dasar faţānah lebih merujuk pada dimensi mental yang fundamental dan menyeluruh, sehingga faţānah
dapat diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup kecerdasan
intelektual, emosional, dan spirtitual. Seorang yang memiliki sikap faţānah,
tidak hanya menguasai bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang
kuat. Keputusan-keputusannya menunjukan kemahiran seorang profesional
yang didasarkan sikap moral atau akhlak yang luhur. Seorang yang faţānah tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam berpikir dan bertindak.
Tasmara (2001: 220) mengatakan bahwa karakteristik yang terkandung dalam jiwa faţānah adalah :
- The man wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan (Qs. Al-Baqarah [2]: 26).
- High integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya. Mereka tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi mampu melihat apa di balik yang tampak tersebut melalui proses perenungan (Qs.Ali Imran [3]: 190).
- Willingness to learn. Mereka memiliki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu mengambil pelajaran dai setiap peristiwa yang dihadapinya (Qs. Yūsuf [12] : 111).
- Proactive stance. Mereka bersikap proaktif, ingin memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, ia telah menjadikannya sebagai sosok yang mampu mengambil keputusan yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang akan merugikan (Qs. Al-Mā’idah[5]: 100).
- Faith in god. Mereka sangat mencintai Tuhannya dan karenanya selalu mendapat petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah di-sibghah Allah Ta’alā sehingga tumbuh rasa optimis untuk menjadikan Allah sebagai tempat dirinya bersandar dan bertawakal (Qs. Ali Imran [3]: 7, 30-31, Qs. Al-Baqarah[2]: 138).
- Creditable and reputable. Mereka selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai insan yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkarijanji atau mengkhianati amānah yang dipikulkan kepada dirinya (Qs. Ar- Ra’d [13]: 19-22).
- Being the best. Selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan (the excellent examplary) dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Qs. Ali Imran [3]: 110).
- Empathy and compassion. Mereka menaruh cinta kepada orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri (Qs. At-Taubah [9]: 128).
- Emotional maturity. Mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terperangkap dalam keputusan emosional ( Qs. Luqman [31]: 17)
- Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam Al Qur’an sebagai nafsul muthmainah (Qs. Al-Fajr [89]: 27-30, Qs. Asy-Syu’arā’ [26]: 89).
- Sense of mission. Mereka memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupan (Qs. At-Taubah [9]: 33, Qs. Al-Fath[48]: 28, Qs.Aş- Şaff [61] :9)
- Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena mereka sadar bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya dengan memiliki sense of competition (QS. Al- Baqarah [2]: 148).
Faţānah merupakan modal yang cukup penting dalam berbisnis. Berdasarkan penelitian Agor (1986)
terhadap tiga ribu ekskutif dalam Tasmara (2001:213), dapat diketahui
bahwa ekskutif yang berhasil meraih prestasi puncak adalah mereka yang
paling cerdas dalam pendayagunaan intuisi pada saat pengambilan
keputusan.
Kecerdasan dan kepekaan (intuisi)
terhadap sesuatu akan didapat oleh orang-orang yang memiliki
ilmu/pengetahuan. Adapun ilmu/pengetahuan hanya didapat melalui proses
belajar, melakukan penelitian, juga upaya pengembangan budaya ilmiah.
Allah Ta’alā telah berfirman dalam Qs. Muhammad [47]: 19 :
… فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك
Fa‛lam an-nahu lā ilāha ila’l-Lahu wa’s-taghfir li-żanbika
“Maka ketahuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”
Ayat tersebut diawali dengan kata
“ketahuilah” lalu dilajutkan dengan “mohonlah ampun”. Kata “ketahuilah”
adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan “mohonlah
ampun” adalah sebuah aktiftas. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu harus
didahulukan sebelum mengerjakan suatu aktifitas. Setiap muslim yang
hendak beramal harus memiliki pengetahuan terlebih dahulu tentang
aktifitasnya, agar pekerjaannya tersebut dapat bermanfaat (Tuasikal,
2009).
Arifin (2009) mengatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab radiya’l-Lahu ‘anhu juga telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum, yakni:
ايتجر في سوقناإلا من فقه و الا اكل الر با
a-yattajiru fī sūqinā illā man faquha wa illā akala’r-ribā
“Hendaknya tidaklah berdagang di pasar
kita, selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak demikaian,
niscaya (orang tersebut) akan memakan riba.” [Dari Ibnu Abdil Bar
Al-Malik. Riwayat ini dihasankan oleh Al-Albany].
Imam Al-Qurthubi Al-Maliki dalam Ahkāmul Qur’an (5/29) menjelaskan:
“Orang yang
bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi-
maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mengelola
harta benda. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan
perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang
haram. Sebagaimana ia juga dikhawatirkan akan melakukan praktek riba dan
transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada non-muslim yang
tinggal di negeri Islam.”
Imam Malik (Al-Maliyah wal Masharafiyyah, DR. Nazih Hamad, hal.359 dalam Wasitho) mengatakan bahwa:
“Khalifah Umar bin Khattab radiya’l-Lahu
‘anhu memerintahkan para pemimpin (daerah) untuk mengumpulkan seluruh
pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji satu-persatu, saat
beliau menemukan di antara mereka yang tidak mengerti hukum halal-haram
dalam jual beli, beliau melarang pedagang tersebut masuk pasar dan
menyuruhnya mempelajari kaidah syar’i dalam bisnis (fiqih muamalah).
Bila pedagang tersebut telah paham, maka dia diperbolehkan masuk pasar”
Ilmu (pengetahuan) merupakan bekal utama
untuk beraktifitas. Keluasan ilmu (kecerdasan) seseorang akan membawa
keberhasilan dan manfaat atas aktifitasnya tersebut. Oleh karena itu,
sangatlah penting jika karakter-karakter yang menunjukkan telah
terbentuknya kecerdasan (faţānah) dalam diri seseorang dapat dipahami dan diterapkan lebih teknis dalam kehidupan sehari-hari.
Implementasi faţānah dalam dunia
bisnis akan membentuk kepribadian yang mulia dan beretos kerja tinggi.
Hal tersebut diwujudkan dengan sikap sebagai berikut (Tasmara, 2001:235)
:
- Melaksanakan tugas-tugasnya dengan standar kualitas tinggi sesuai dengan visi dan misi organisasi.
- Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan mematuhi peraturan organisasi merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja yang profesional.
- Bekerja secara inovatif dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan untuk mencapai kualitas dirinya.
- Berusaha untuk menempatkan diri sebagai bagian dari khairu ummah (umat terbaik), bekerja secara kreatif dan inovatif untuk menemukan dan mengembangkan berbagai bentuk produk-produk dan pelayanan unggul (service excellent).
- Terbuka terhadap gagasan baru dan memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan secara cepat, tepat, dan akurat.
- Melaksanakan tugas-tugasnya dengan motivasi tinggi, bekerja keras, cerdas, dan tangkas untuk mencapai prestasi optimal (need achievements).
- Menyadari sepenuhnya bahwa untuk misi organisasi dibutuhkan sikap yang proaktif dan kreatif di dalam mencari peluang usaha.
- Meningkatkan kualitas akhlak, kecerdasannya, dan kemampuannya secara menyeluruh sebagai upaya untuk menempatkan diri sebagai pekerja yang profesional.
- Bekerja berdasarkan prinsip-prinsip etika, moral, kejujuran, dan kesungguhan.
Post a Comment