Organisasi Pasar dalam Islam

Organisasi Pasar dalam Islam 
Hisbah atau Otoritas Pasar telah didefinisikan secara luas oleh Ibn Khaldun (1332-1406 M) sebagai tugas relijius yang berkaitan dengan seruan kepada manusia untuk berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan (Khaldun, 1967). Sebuah definisi yang lebih spesifik diberikan oleh Aldaraiweesh (1989) sebagai kontrol manajerial yang dilakukan oleh pemerintah melalui pegawainya yang ditugaskan untuk memantau aktivitas individu dalam bidang etika, agama, dan ekonomi, dengan tujuan memastikan bahwa keadilan dan kebajikan sebagaimana definisi Islam dan kebiasaan lazim di setiap tempat (lingkungan) dan waktu dapat dicapai.
Hisbah berevolusi secara bertahap sepanjang sejarah Islam. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) adalah orang pertama yang memantau dan mengendalikan pasar. Sebagai contohnya, beliau pernah menyaksikan tumpukan bahan makanan di pasar dan (ketika) memeriksanya, beliau menemukan terdapat barang yang basah (di bagian bawah). Beliau bertanya kepada sang Penjual tentang hal itu dan penjual menjawab bahwa barang tersebut kehujanan. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)pun meminta penjual tersebut untuk menempatkan barang yang basah tersebut di bagian atas sehingga pembeli bisa melihatnya, dan selanjutnya berkata, ‘Barangsiapa yang berbuat curang, maka ia tidak termasuk golongan kami’[1]. Dalam contoh lain, adalah perkataan seseorang, ‘Pada zaman Rasul (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) kami dulu disebut makelar, tetapi Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) datang kepada kami pada suatu hari, dan memanggil kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebelumnya, beliau mengatakan:  ‘wahai para pebisnis, berbicara sia-sia dan bersumpah terjadi dalam urusan bisnis, maka padulah ia dengan shadaqah’(Hadits).[2]
Muhtasib akan mengawasi pasar, memantau berat dan ukuran, membubarkan kerumunan, dan menghilangkan berbagai hambatan. Berikut beragam contoh yang menunjukkan keterlibatannya secara langsung dalam pasar:
  1. Standar kualitas. Seorang mushtasib yang menemukan bahwa terdapat seorang pedagang mencampur susunya dengan air, maka ia memerintahkan agar (campuran tersebut) ditumpahkan.
  2. Harga. Seorang muhtasib memerintahkan seorang penjual (yang melakukan ‘dumping’) untuk meningkatkan harga kismisnya sehingga sesuai harga standard atau meninggalkan pasar[3].
  3. Harga. Seorang Muhtasib harus memastikan bahwa penjual daging harus memasang label harga yang dapat dilihat orang  dan para penjual tidak boleh menjual dengan harga di atas (yang tercantum). 
  4. Lokasi. Seorang Muhtasib (dapat) menggusur tungku pandai besi karena telah menempati wilayah pasar milik bersama dan tak seorang pun yang (berani) menuntutnya. Pasar bagi setiap Muslim laksana masjid (untuk sholat berjamaah), barangsiapa yang memilih tempat pertama berhak secara tetap untuk menggunakannya pada hari tersebt hingga ia (memilih) untuk meninggalkannya.
  5. Eksploitasi. Seorang Muhtasib memiliki seekor keledai yang dipekerjakan dengan ketentuan sewa satu dirham selama sehari. Pada hari tertentu hambanya datang kembali dengan membawa uang satu setengah dirham. Ketika ditanya bagaimana ia mendapat tambahan setengah dirham, hamba tersebut mengatakan bahwa ada banyak permintaan (sewa keledai) sehingga ia mampu menaikkan harga. Muhtasib mengatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan, hamba tersebut terlalu banyak mengeksplotasi tenaga keledai sehingga harus memberinya waktu istirahat selama tiga hari.
  6. Pembeli Misterius. Seorang Muhtasib akan mengirim anak laki-laki dan perempuan yang tak terduga ke pasar untuk membeli barang, kemudian ia akan menimbang barang yang dibeli anak tadi untuk memastikan bahwa beratnya sesuai. Jika Muhtasib menemukan ketidaksesuaian dalam bobot dan pengukuran, maka pedagang (yang berbuat curang tersebut) akan dihukum berat. Jika dia melakukannya lagi maka ia akan diusir dari kota.
Sistem Muhtasib disempurnakan pada masa pemerintahan Muslim di Spanyol, yang berakhir pada 1495 M. Sistem ini masih digunakan di Spanyol dengan nama yang sama.
 
Karakteristik Muhtasib

  1. Pegawai Negeri Sipil. Posisi ini adalah jabatan publik, diisi oleh pegwai yang ditunjuk oleh pemimpin Muslim. Sebuah gaji yang pantas diberikan atas posisi tersebut.
  2. Durasi. Muhtasib adalah pekerjaan penuh waktu (full time). Seorang Muhtasib dilarang mengambil pekerjaan lainnya.
  3. Perselisihan dan keluhan. Tugas dari Muhtasib adalah menerima dan menyelesaikan perselisihan dan keluhan.
  4. Inspeksi. Adapun tugas lainnya adalah mencari pelanggaran dan menghapusnya.
  5. Otoritas untuk mempekerjakan. Seorang Muhtasib memiliki kewanangan mempekerjakan asisten yang bertugas untuk memastikan kepatuhan terhadap syariah berjalan dengan baik di pasar.
  6. Otoritas dalam kedisiplinan. Sesorang Muhtasib memiliki kewenangan untuk mendisiplinkan orang (pedagang)  yang melanggar aturan Islam di pasar. Namun, pelanggar tidak harus ditindak (secara langsung) hingga suatu masalah (terkait pelanggaran) diklarifikasi kepada mereka.
  7. Iman. Seorang Muhtasib harus beragama Islam karena tugas utamanya adalah memastikan kepatuhan pasar terhadap ajaran Islam.
  8. Akuntabilitas. Seorang Muhtasib bertanggung jawab kepada orang yang mengangkatnya pada posisi itu.
  9. Gender. Posisi Muhtasib boleh ditempati oleh seorang wanita (apabila) berada di pasar (khusus) wanita. Khalifah Islam kedua (Umar bin Al-Khattab) menunjuk Ash-Shifa, putri dari Abdullah sebagai Muhtasib di salah satu pasar di kota Nabi (Madinah).
  10. Kerahasiaan. Seorang Muhtasib lebih baik menjaga kerahasiaan dari pekerjaannya selama hal tersebut memungkinkan. Namun, jika terdapat seorang pedagang melanjutkan pelanggarannya (setelah teguran), maka dia akan meminta masyarakat untuk menahan diri (terlebih dahulu) atas kesalahan yang dilakukan pedagang tersebut (hingga mendapat hukuman).
  11. Karakter pribadi. Seorang Muhtasib harus bersikap baik,  murah senyum, dan sopan dalam memfasilitasi komunikasi antar pedagang. Nabi (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam) bersabda, ‘Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Agung, adalah Maha Baik dan mencintai kebaikan. Dia senang dengan perbuatan tersebut itu dan akan membantumu selama engkau tidak salah meletakkan (perbuatan baik tersebut) ‘(Hadits)
Tugas Umum Muhtasib

  1. Keterjangkauan Pasar. Muhtasib bertugas memantau jalan utama dan berbagai jalan menuju pasar serta memastikan bahwa kondisinya tidak macet dan atap kantor mereka cukup tinggi untuk memungkinkan akses mudah ke toko-toko. Pemilik toko tidak diperbolehkan untuk memamerkan barang-barang mereka di jalur menuju pasar karena tindakan semacam itu dipandang sebagai pelanggaran bagi para pejalan kaki.
  2. Divisi pasar. Muhtasib membagi pasar sesuai dengan jenis produk atau layanan yang disediakan. Mereka yang berprofesi menggunakan api, seperti pandai besi, koki dan tukang roti, harus memiliki toko terletak jauh dari toko pakaian dan aroma. Muhtasib menunjuk atas masing-masing divisi seorang supervisor yang memahami proses perdagangan di dalamnya dan kemungkinan pelanggaran yang akan mereka lakukan. Pengawas lokal (supervisor tersebut) juga akan melaporkan kepada Muhtasib tentang harga dan ketersediaan barang di masing-masing divisi.
  3. Pemantauan timbangan, berat, dan ukuran. Muhtasib memeliki kewenangan untuk memeriksa hal ini tanpa sepengetahuan penjual, dalam beragam kasus, dan berat atau ukurannya setidaknya sebanyak sebagaimana mestinya. Hal bermanfaat untuk memberikan lebih banyak pembeli tetapi tidak merugikan, ‘Sempurnakanlah takaran dan janganlah engkau merugikan orang lain. Serta timbanglah dengan timbangan yang benar. Dan Janganlah engkau merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi‘(Qs. Asy- Syu’ara [26]: 181-183). Seorang sahabat Nabi juga menceritakan kisah berikut, ‘Saya dan Makhrafah al-Abdi mengimpor beberapa pakaian dari (pasar) Hajar, dan membawanya ke Makkah.  Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) datang kepada kami dengan berjalan, dan setelah ia tawar-menawar dengan kami untuk beberapa celana panjang, kami (akhirnya) menjual kepadanya. Ada seorang pria yang sedang menimbang untuk pembayaran. Rasulullah (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam) berkata kepadanya: Timbang dan ‘lebihkan’ beratnya’ (Hadits).
  4. Pasar uang. Muhtasib bertugas untuk memeriksa pasar uang dan memastikan bahwa koin diproduksi dengan langkah-langkah yang tepat serta sesuai dengan spesifikasinya. Selain itu, dia juga harus memastikan bahwa tercapai keseimbangan antara jumlah uang yang tersedia di pasar dan situasi ekonomi di negara itu, sehingga stabilitas harga dapat terjamin.
  5. Penawaran dan transaksi. Muhtasib berwenang untuk menggagalkan penawaran dan transaksi yang melanggar hukum serta mencegah penjualan produk yang telah dinyatakan “dilarang” dalam Islam. Contoh transaksi yang termasuk melanggar hukum, seperti yang disabdakan oleh Nabi (Shalla’l-Lahu’alayhi wa Sallam): ‘Harga yang dibayarkan untuk anjing, harga yang diberikan ke dukun, dan uang sewa yang dibayarkan kepada seorang pelacur (semuanya) tidak halal ’(hadits).[4]
  6. Pencegahan dan monopoli. Muhtasib bertugas mencegah monopoli dan memaksa para pedagang untuk menjual dengan nilai yang sama jika diperlukan (darurat).
  7. Broker dan perantara. Muhtasib adalah pengawas operasional broker dan perantara. Bertugas untuk mencegah mereka dari penjualan hingga mereka tahu siapa penjual (sebenarnya) dan mendokumentasikan informasi dalam setiap catatan mereka dalam rangka memastikan bahwa apa yang sedang dijual tidak dicuri, dalam sengketa, diambil secara paksa atau diperoleh melalui cara ilegal yang lain.
  8. Produksi daging. Muhtasib bertugas mengawasi penyembelihan hewan, memastikan bahwa hewan tersebut bebas dari penyakit, mencegah penjual daging untuk meniup, antara kulit dan tubuh hewan ketika sedang dikuliti dengan tujuan untuk menghindari bau tak sedap dari perubahan rasa pada daging. Dia juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tempat di mana daging disiapkan dan dijual  terjaga kebersihannya, serta memastikan bahwa pengawetan daging telah sesuai dengan prosedur yang memadai.
  9. Pasar perempuan. Muhtasib berwenang menunjuk laki-laki atau perempuan yang dapat dipercaya untuk mengawasi pasar perempuan dan mencegah laki-laki untuk pergi ke pasar perempuan dan duduk-duduk di jalan menuju tempat tersebut.

[2] Dalam Musnad Imam Ahmad, no. 15549, Bab Musnad Penduduk Madinah, Hadits Qais bin Abu Garzah dituliskan ‘Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Jamal bin Abu Rasyid dan ‘Ashim dari Abu Wa’il dari Qais bin Abu Gharzah berkata ‘kami menamakan diri kami dengan nama samasirah (makelar) pada masa Rasulullah  (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallamlalu Rasulullah (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)mendatangi kami di Baqi’ dan bersabda sesungguhnya dalam jual beli terdapat sumpah dan kebohongan maka campurkanlah dengan sedekah’Adapun pada nomor selanjutnya, no.15550, Rasulullah (Shalla’l-lahu’alayhi wa Sallam)  bersabda: ‘Wahai para pedagang sesungguhnya dalam jual beli terdapat hal yang sia-sia dan sumpah, maka campurkanlah dengan sedekah’.
Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | CAH MANAGEMENT | TITISAN SAMUDERA
Copyright © 2011. MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by SAMUDERA
Proudly powered by Blogger