kita memang pelupa
Dalam kehidupan keluarga, kata ‘lupa’ bukan hal aneh. Hampir tiap hari, kata itu kerap muncul dalam percakapan ringan. Bisa datang dari isteri, anak-anak, dan yang biasanya lebih sering juga datang dari pihak suami.
Suamilah yang umumnya selalu bilang lupa kalau ditanya soal tanggal kelahiran anak-anak mereka. Terlebih jika anak sudah berbilang di atas empat. Bahkan, yang lebih parah lagi, tidak jarang seorang ayah yang lupa siapa nama salah seorang anaknya. Terutama untuk nama anak yang di atas lima atau enam.
Hal tentang lupa inilah yang sering dirasakan Bu Neni terhadap suaminya. Kata lupa hampir menjadi langganan untuk diucapkan. Entah kenapa, suami Bu Neni menjadi begitu mudah lupa. Padahal, usianya masih tiga puluhan.
Pengalaman pertama dari lupa suami justru dialami Bu Neni sekitar sepekan setelah hari pernikahannya. Dan pengalaman lupa pertama itulah yang menyadarkan Bu Neni kalau suaminya bukan orang yang mudah ingatan.
Waktu itu, Bu Neni dan suami masih sibuk melakukan kunjungan ke sanak kerabat. Terutama keluarga Bu Neni dan suami yang tergolong lebih tua. Sudah menjadi tradisi dan juga ajaran Islam untuk bersilaturahim dan mengenalkan anggota keluarga baru kepada sanak kerabat yang lebih tua. Bisa om, tante, kakek, nenek, dan sebagainya.
Karena hujan tiba-tiba, motor yang ditumpangi Bu Neni dan suami pun langsung menepi ke tempat terdekat. Dan kebetulan, tempat itu sebuah rumah makan. Bu Neni pun sempat terkesima. “Waduh, suamiku mau ngajak makan di restoran?” Dan mereka pun langsung berteduh persis di depan beranda rumah makan. Tapi, suami Bu Neni tak juga mengajak masuk kedalam.
Menunggu reaksi yang tak kunjung datang, Bu Neni pun berinisiatif. “Mau makan, Mas?” ucap Bu Neni sambil menunjuk ke arah dalam rumah makan. “Oh iya, kita di depan rumah makan ya?” ucap suami Bu Neni yang sambil senyum langsung menggamit tangan Bu Neni untuk masuk.
Inilah pengalaman pertama Bu Neni makan bareng suami di luar rumah. Subhanallah, Bu Neni merasakan hal lain. Sebuah percepatan keakraban suami isteri yang jarang diperoleh kalau makan di rumah.
Setelah puas makan, tiba-tiba suami Bu Neni seperti teringat sesuatu. Tangannya seperti merogoh ke saku celana. “Astaghfirullah, dompetnya di mana, ya? Oh iya, ada di tas ranselku. Tapi, tasnya di mana ya?” ucap suami Bu Neni sambil masih merogoh beberapa saku celana dan bajunya.
“Apa tertinggal di rumah Om, ya Mas! Seingat saya, waktu kehujanan tadi, Mas nggak bawa tas!” timpal Bu Neni.
“Tunggu sebentar ya, Dek!” ucap suami Bu Neni sambil berdiri dan melangkah menuju motor yang ia parkir. Ia langsung memacu motornya menuju rumah Om yang kebetulan masih belum jauh. Syukurnya, hujan sudah reda sehingga suami Bu Neni bisa lebih cepat mengambil tas ransel yang tertinggal.
Lama Bu Neni menunggu. Seorang pelayan tiba-tiba menghampiri Bu Neni. “Maaf Bu, apa ada pesanan lagi?” ucap sang pelayan. Bu Neni agak gugup. “Tidak, saya masih nunggu suami saya keluar sebentar,” ucap Bu Neni sekenanya.
Suasana aneh mulai dirasakan Bu Neni ketika waktu menunggu sudah lebih dari satu jam. “Ada apa ya, dengan Masku? Kok lama banget, lokasinya kan cuma beberapa gang dari sini!” suara Bu Neni membatin.
Bu Neni pun mencoba melirik dompet di sakunya. Ia masih belum yakin apa isi dompetnya cukup buat bayar. “Ya Allah, kayaknya masih jauh dari cukup!” bisik Bu Neni setelah tahu pasti berapa jumlah isi dompetnya.
Tiba-tiba, Bu Neni menyadari sesuatu. “Lha, jaket suamiku kok gak dibawa, ya?” Tangan Bu Neni pun meraih jaket warna biru tua yang teronggok di bangku samping suaminya duduk. Ia berusaha merapikan jaket yang tak terlipat baik itu. Dan….
Sesuatu tersentuh di kantong jaket suami Bu Neni. Ia pun penasaran. Ketika dikeluarkan, Bu Neni mendapati sebuah dompet yang ia yakin milik suaminya. “Ya Allah, suamiku…suamiku!” ucap Bu Neni dalam hati.
Tiba-tiba, suami Bu Neni datang. Wajahnya masih menampakkan kebingungan. “Tas ranselnya ketemu, tapi dompetnya kok nggak ada, ya, Dek. Semua orang di rumah Om jadi repot ikut nyari!” ucap suami Bu Neni.
“Ini dompetnya, Mas. Di saku jaketmu!” ucap Bu Neni sambil menunjukkan dompet yang dicari suaminya. Melihat itu, wajah suami Bu Neni pun langsung segar. “Ya Allah, ternyata di jaket, ya!” ucapnya sambil membuka isi dompet.
Saat itu, Bu Neni merasakan sebuah pengalaman yang berakhir di dompet. Ia tersadar, betapa pelupanya sang suami. Tapi, Bu Neni mendapati hal lain dari perubahan wajah suaminya yang tiba-tiba. “Ada apa lagi, Mas?” ucap Bu Neni sambil mendekat ke arah suaminya.
“Aku baru ingat, kalau uangnya nggak aku taruh di dompet!” ucap suami Bu Neni dengan wajah yang tiba-tiba kembali kepada kebingungan. “Maksud Mas?” ucap Bu Neni ikut terbawa panik.
“Iya, tadi uang di dompet ini aku kasih ke seseorang. Tapi, aku lupa siapa dan kapan ya?” jelas suami Bu Neni. Kali ini, Bu Neni benar-benar dibuat linglung.
Dalam suasana panik itu, tiba-tiba seorang pelayan datang. “Maaf, Pak, Bu. Apa masih ada makanan atau minuman yang mau dipesan?” ucap sang pelayan begitu ramah.
“Sebenarnya sih cukup, Mbak!” ucap Bu Neni masih dalam keadaan gugup.
Sang pelayan pun bilang, “Oh baiklah. Jadi, jumlah yang harus dibayar sekian,” sambil sang pelayan menyodorkan rincian makanan dan harganya. “Dan ini kembaliannya, Bu!” suara pelayan yang tiba-tiba menyadarkan suami Bu Neni.
“Oh iya. Uangnya sudah aku kasih ke kasir!” ucap suami Bu Neni tiba-tiba. “Iya. Tadi waktu kamu mencari tempat duduk, aku langsung ke kasir ngasih duit. Aku pesan, kalau tagihannya sudah melebihi uangku, tolong diingatkan!” ucap suami Bu Neni sambil mengangguk-angguk karena mulai ingat semuanya.
Bu Neni terperangah. Baru kali itu, ia mengalami sebuah peristiwa lupa yang terjadi secara beruntun dalam waktu yang sama. Dan itu ia dapati dari orang yang baru Bu Neni kenal secara dalam, suaminya.
“Ya Allah, suamiku…suamiku….,” ucapnya dalam masih dalam hati.
Post a Comment